Kain Perca Ibu
Ada kebiasaan Ibu yang telah dilakukannya sejak menikah
dengan Bapak. Ibu selalu menyimpan pakaian-pakaian yang memiliki arti
begitu mendalam baginya.
Salah satunya adalah kebaya pengantin lengkap dengan kain batik
pesisiran, rapi ia simpan di dalam koper kecil usang di bawah ranjang.
Setelah ijab kabul sekitar lima puluhan tahun silam, kebaya brokat putih
itu dikenakan untuk kedua kalinya ketika Mbak Ratih, kakak sulung kami,
bersanding dengan lelaki pilihan hatinya di pelaminan.
Sepanjang resepsi perkawinan Mbak Ratih,
kami adik-adik perempuannya menatap kagum sekaligus iri. Membayangkan
betapa sakralnya riwayat kebaya yang saat itu melekat di tubuh Mbak
Ratih. Kebaya itu dijahitkan sendiri oleh mendiang ibunya Ibu di tengah
keadaan negeri yang sedang porak-poranda.
Sekitar pertengahan tahun 1950-an Indonesia dalam keadaan darurat
perang karena banyaknya pemberontakan di berbagai daerah di tanah air.
Militer memegang posisi yang menonjol dalam mengatur kehidupan
masyarakat. Kemiskinan terasa sampai ke pelosok-pelosok. Ibu dan Bapak
yang tinggal di pinggiran kota kecil Magelang dinikahkan secara
sederhana di tengah keadaan ekonomi yang kacau-balau. Banyak rakyat
terpaksa makan bulgur, semacam campuran ketan dan beras, yang menurut
informasi diperoleh dari sisa makanan ternak kiriman Amerika untuk
membantu rakyat Indonesia.
Karena tidak punya uang untuk membeli kain brokat yang layak,
mendiang Eyang Putri terpaksa mengeluarkan gorden yang biasanya hanya
dipasang menghiasi ruang tamu untuk acara istimewa setahun sekali
seperti kaulan dan kendurian. Gorden yang terbuat dari kain semacam
brokat itu pun digunting Eyang Putri dan dijahit menjadi kebaya
pengantin. Seusai menikah, Bapak yang tentara itu harus buru-buru
berangkat ke medan perang melawan pemberontak.
Sejarahnyalah yang membuat kebaya itu begitu terasa mahal saat
dikenakan oleh Mbak Ratih yang menjadi pengantin. Entah bagaimana cara
Ibu menyimpannya. Kebaya itu masih tampak sekemilau dulu. Ibu menisik
dengan sangat hati-hati bagian-bagian yang mulai renggang dan
menambahkan manik-manik agar terlihat lebih indah dan modern.
Mewariskan pakaian lama itu merupakan pertanda cinta Ibu kepada
keturunannya. Bagi kami pun sudah menjadi semacam tradisi yang
ditunggu-tunggu. Ibu hanya melakukannya untuk momen-momen penting bagi
keluarga kami. Sebelum memberikannya, biasanya Ibu mengumpulkan semua
anak perempuannya di ruang tengah, kami duduk bersila di lantai, Ibu
duduk di kursi menceritakan terlebih dulu riwayat pakaian itu. Kami
seperti terseret pada kenangan masa lalu yang mengharu biru. Lalu kami
semua berharap-harap cemas menantikan siapakah yang menjadi orang yang
beruntung pada hari itu.
Ketika putri pertama Mbak Ratih lahir, yang juga menjadi cucu pertama
Ibu, Ibu melungsurkan selimut dan baju bayi yang dulu membungkus tubuh
mungil Mbak Ratih ketika pertama kali menghirup udara bebas di barak
militer karena saat itu negara sedang sibuk menumpas pemberontakan.
Bayangkan. Betapa Ibu tidak pernah melewatkan setiap peristiwa penting
dalam kehidupannya.
Jika bukan kami yang terpilih, dan tidak beruntung pada hari itu,
kami akan masuk ke kamar masing-masing dengan kepala menunduk, menyimpan
tangis kami diam-diam. Karena itu artinya kami belum dianggap istimewa
oleh Ibu.
***
Tradisi itu berlanjut hingga kami, anak-anak perempuan Ibu, pindah
berpencar ke kota-kota lain, menikah dan punya anak. Aku merantau ke
Jakarta, bekerja dan menikah dengan Mas Harris. Mbak Ratih pindah ke
Bandung mengikuti suaminya. Mbak Suti menetap di Semarang dengan
keluarganya. Laras, adik bungsu kami, memilih tinggal di Bogor dengan
suami dan anak-anaknya. Hanya Ibu dan Bapak yang berkeras tetap tinggal
di Magelang, meskipun Bapak sudah pensiun dari ketentaraan.
Setiap Lebaran kami berkumpul di sana, setelah acara sungkem dan
makan ketupat opor buatan Ibu, kami akan berkumpul di ruang tengah.
Seperti dulu. Hanya kali ini dengan anggota yang lebih banyak. Karena
ditambah dengan cucu-cucu Ibu yang sudah berjumlah delapan orang. Dua
orang cucu dari Mbak Ratih, tiga dari Mbak Suti, satu dari aku, dua dari
Laras.
Perasaan kami masih seperti dulu, berdebar-debar cemas, menunggu
siapakah yang dipilih Ibu pada Lebaran tahun ini. Sedangkan bagi
anak-anak kami, cerita Ibu seperti dongeng sejarah yang mengagumkan.
Mungkin di benak mereka seperti melihat film dokumenter dengan layar
hidup.
Siapa yang beruntung mendapatkan lungsuran pakaian merasa seperti
menjadi pemenang lotre miliaran rupiah. Dan sepanjang tahun, cerita itu
akan didengung-dengungkan terus di antara keluarga kami. Menjadi topik
hangat sampai tiba Lebaran berikutnya.
***
Yang paling berkesan bagiku adalah Lebaran lima tahun yang lalu. Ibu
menyerahkan kebaya Kartini berukuran mungil dengan sulaman emas yang
cantik sekali. Menurut Ibu, itu adalah kebaya yang kupakai saat perayaan
hari Kartini ketika aku masih kelas satu sekolah dasar. Ketika itu aku
diminta oleh guru menjadi Kartini dalam sandiwara yang dipentaskan di
sekolah, lalu diajak berkeliling kecamatan bersama pawai sekolah.
Kebaya itu yang kemudian dikenakan oleh putriku saat pawai yang sama
tiga puluh tahun kemudian. Mataku berkaca-kaca melihat putriku yang
mungil tampak begitu jelita dalam balutan kebaya beludru. Ibu bercerita,
beludru itu diperolehnya dari tetangganya yang juru rias pengantin. Ibu
menjahit sendiri dan menambahkan sulaman emas yang memanjang dari leher
hingga ke ujung bawah kebaya. Kini aku mengerti betapa besarnya cinta
Ibu kepadaku.
Menyadari betapa sehelai pakaian bisa merekam begitu banyak peristiwa
penting dalam hidup kami, maka kami pun mengikuti jejak Ibu menyimpan
semua pakaian yang kami anggap memiliki nilai sejarah. Kelak saat
anak-anak kami dewasa nanti, kami akan menyerahkannya satu per satu
kepada mereka dengan cerita yang membuat harganya tidak bisa diukur
dengan mata uang mana pun.
***
Tradisi itu terhenti ketika suatu pagi Ibu menelepon kami sambil
terisak-isak. Hanya menangis. Tidak ada kata-kata yang tercetus dari
mulutnya yang penuh air mata. Kami tahu apa yang terjadi, dan segera
berangkat ke Magelang dengan pesawat paling pagi.
Kami menguburkan jasad Bapak keesokan harinya di pemakaman umum dekat
rumah agar Ibu mudah kapan pun ingin nyekar. Karena kami semua bekerja,
kami sepakat untuk bergantian menjaga Ibu selama masa berkabungnya. Aku
mengambil cuti untuk bisa menemani Ibu melewati kesedihannya ditinggal
Bapak. Tapi rupanya kehadiranku seperti tidak nyata di mata Ibu. Ibu
yang dulu begitu periang dan senang mengobrol sekarang menjadi pendiam
dan sering duduk melamun di beranda. Di sana biasanya Ibu menemani Bapak
melewati waktu senja, minum kopi tubruk dan pisang goreng, sambil
bernostalgia. Aku memahami kepedihan Ibu. Jadi aku biarkan saja Ibu
dengan dunianya. Aku duduk menemaninya di sana. Sama-sama diam. Yang
penting aku bisa memastikan bahwa Ibu tetap sehat dan tidak kekurangan
suatu apa.
Setelah lewat berbulan-bulan, kami melihat kondisi Ibu mulai cukup
tenang. Kami, anak-anak perempuan Ibu, berembuk untuk membujuk Ibu
menjual rumah lalu pindah tinggal di rumah salah satu dari kami. Ibu
boleh memilih ingin tinggal di Bandung, Semarang, Bogor, atau Jakarta.
Mbak Ratih yang kami minta mewakili pergi ke Magelang untuk meluluhkan
hati Ibu. Dari semua anak perempuannya, Mbak Ratih yang paling banyak
mendapatkan lungsuran pakaian simpanan Ibu.
Mbak Ratih pulang tanpa membawa Ibu. Ibu berkeras tinggal sendiri di
Magelang, dengan seorang pembantu. Hidup dengan segala kenangannya
tentang Bapak.
***
Mbak Suti yang tinggal paling dekat dengan Ibu sering kali harus
pulang-pergi Semarang-Magelang untuk mengawasi keadaan Ibu. Kami merasa
kasihan kepada Mbak Suti karena selain bekerja, ia juga mengurus
anak-anaknya sendiri.
Supaya Ibu tidak terlalu larut dengan kesedihan, akhirnya kami
berkompromi bergantian membelikan tiket pesawat untuk Ibu. Dengan begitu
Ibu bisa bergantian menginap di rumah kami, mengunjungi anak-anak dan
cucunya secara rutin. Mungkin dengan berada di antara kami, hati Ibu
akan sedikit terhibur. Ibu bersedia, tapi tidak bersedia naik pesawat.
Terpaksa kami membelikannya karcis kereta api, meskipun khawatir dengan
keadaan fisiknya yang mulai renta.
Rupanya Ibu bahagia naik kereta api. Ibu bisa mengingat kembali
masa-masa pacaran dan bulan madunya bersama almarhum Bapak, bertemu di
peron, dan bepergian naik kereta api.
Sesibuk apa pun, aku sekeluarga selalu menyempatkan menjemput Ibu di
stasiun. Aku, suamiku, dan putriku. Ibu memeluk kami erat-erat. Tampak
bahagia bertemu kami. Meskipun aku melihat ada ruang kosong di matanya.
Ada yang hilang dalam setiap pertemuan kami. Ibu tidak pernah lagi
melungsurkan pakaian-pakaian lamanya. Kami pun tidak berani
mengungkitnya. Mungkin Ibu butuh waktu untuk pulih. Karena kini
menceritakan kenangan berarti mengungkit lagi kesedihannya. Semua saat
yang bernilai baginya tentu erat berkaitan dengan almarhum Bapak. Ibu
melahirkan Mbak Ratih ketika Bapak harus bertugas menumpas
pemberontakan. Ibu menamakanku Sri karena bidan bernama Sri yang
dijemput Bapak subuh-subuh naik sepeda ontel untuk membantu persalinan
Ibu melahirkanku. Dan, semua hal yang dulu terasa patriotik sekarang
menjadi begitu pedih. Karena Bapak telah pergi.
***
Rupanya dalam setahun Ibu menemukan kembali dirinya. Lebaran tahun
itu, ketika kami menjenguknya di Magelang, Ibu kembali kepada tradisi
lamanya. Ibu mengumpulkan kami semua di ruang tengah dan mulai
bercerita. Satu per satu peristiwa diceritakan dengan rinci oleh Ibu.
Kami menyimak sungguh-sungguh. Di saat kami tengah hanyut dengan
ceritanya, Ibu mengeluarkan sehelai kain lebar, membentangkannya di
hadapan kami. Kami terbelalak melihat hamparan kain berisi
potongan-potongan kain perca yang disambung dan dijahit menjadi bed
cover.
Semua peristiwa yang baru saja diceritakannya itu tiba-tiba saja
terobek-robek, menjadi potongan-potongan yang tidak bernilai, menjadi
seonggok bed cover lebar.
”Kita ndak boleh termakan kenangan,” begitu kata Ibu, tersendat. ”Kita bisa mati merana.”
***
Sekarang setiap kali mengunjungi rumah anak-anaknya, Ibu selalu
meminta kami mengeluarkan pakaian-pakaian lama yang masih kami simpan.
Dengan berat hati kami memberikannya. Di hadapan kami juga, Ibu
menggunting pakaian-pakaian itu menjadi potongan-potongan kain perca.
Kami yang sejak kecil terbiasa mendengarkan betapa pakaian menyimpan
nilai sejarah, jadi merasa seperti teriris-iris.
Pada kunjungan berikutnya, potongan-potongan kain perca itu telah
dijahit Ibu, dan berubah menjadi bermacam-macam fungsi. Kemahiran Ibu
menjahit rupanya tidak termakan usia. Ibu menyulapnya menjadi seprai,
sarung bantal, taplak meja, yang menawan.
Kadang-kadang kami usil memesan Ibu untuk menjahitkan kain perca itu
menjadi bermacam-macam hal remeh seperti serbet, keset, sampai tutup
galon air mineral. Mbak Ratih malah pernah mengusulkan agar Ibu membuka
bursa pengumpulan baju bekas di rumahnya, lalu menjual hasil jahitan
kain percanya.
Kini kami terbiasa menertawakan sejarah. Di rumahku misalnya. Kami
melihat kemeja kerja suamiku yang pertama kali dikenakan ketika naik
jabatan menjadi alas piring makan kami. Atau baju batikku ketika
menghadiri pementasan tari putriku menjadi tatakan gelas minum. Sungguh
lucu rasanya. Kami tertawa-tawa mengingat semua peristiwa itu.
***
Suatu pagi pembantu di rumah Ibu meneleponku dengan suara panik. Ibu
terjatuh di kamar mandi. Aku langsung berangkat naik pesawat dengan
jadwal paling awal. Sesampainya di Magelang, semua anak perempuan Ibu
sudah berkumpul. Aku melihat Ibu telah dibaringkan di ranjang di ruang
tengah, tempat kami biasa berkumpul. Jasad Ibu diselubungi kain perca
jahitannya sendiri.
Aku menghambur memeluk Ibu. Mencium punggung tangannya dengan penuh bakti untuk terakhir kali.
***
Seminggu setelah kepergian Ibu, baru kami memiliki kekuatan untuk
membereskan barang-barang peninggalan Ibu. Kami melakukannya
bersama-sama. Keempat anak perempuan Ibu. Kami melangkah masuk ke kamar
Ibu dengan air mata tertahan.
Perlahan kami membuka lemari pakaian Ibu. Menemukan setumpuk pakaian
Bapak di sudut sana. Utuh. Terlipat rapi. Tidak digunting Ibu menjadi
potongan-potongan kain perca.